TIMESMUBA– Puluhan tahun nasib petani karet hidup dalam ketidakpastian, sejak harga karet anjlok di harga 4000-5000 perkg, hingga sekarang paling tinggi harga karet di tingkat petani hanya mencapai 11.ribu perkg. Kondisi ini bukanlah hambatan bagi petani karet yang berada di Talang Sahabat Desa Muara Teladan Kecamatan Sekayu Musi Banyuasin, untuk berjuang bertahan hidup, kendati demikian menjadi petani karet bukanlah pilihan dalam memenuhi kebutuhan pokok keluarga, karena menyadap karet memang mata pencaharian turun temurun. Terutama bagi warga seputaran Kecamatan Sekayu yang dahulu menetap di talang-talang menjadi petani karet atau ladang berpindah pindah, yang sampai kini masih banyak bertahan.
Talang sahabat yang terletak kurang lebih 25 kilo meter dari kota Sekayu, tepatnya di sepanjang jalan di Kabupaten Musi Banyuasin yakni jalan penghubung antar Kecamatan Sekayu ke Kecamatan Keluang. Penduduk yang dihuni sekitar 500 Kepala Keluarga (KK) yang mayoritas berprofesi petani karet. Sebelumnya masyarakat di talang sahabat maupun talang bilik panjang menetap ditalang sungai jamban, talang pay bongen dan talang pulau arit yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari jalan raya Sekayu – Keluang atau sekitar 1 jam perjalanan, semua masuk wilayah pemerintah Desa Muara Teladan Kecamatan Sekayu.
Seiring perkembangan zaman penduduk di talang-talang tersebut berpindah di sepanjang jalan Sekayu – Keluang agar mempermudah akses kepasar kota Sekayu, terlebih memudahkan menjual hasil sadapan karetnya dan ditempat mereka menetap sekarang bernama talang bilik panjang dan talang Sahabat, hingga sekarang penduduknya masih bertahan berprofesi sebagai petani karet.
Namun, sejak beberapa tahun bahkan puluhan tahun dan hingga sekarang, harga komoditi karet mengalami penurunan drastis, jatuhnya harga yang dahulunya 20.000 perkg dan sekarang hanya berkutat di harga 10 ribu perkg – 11 ribu perkg. Hal inilah membuat para petani karet banyak yang beralih profesi sebagai tukang ojek, kuli bangunan, menjadi buruh harian perusahaan kelapa sawit dan bagi yang mempunyai modal, kebun karet di konversi menjadi kebun kelapa sawit.
Akan tetapi justru masih banyak masyarakat pasrah dan menerima keadaan dan bertahan dengan harga karet yang tidak sebanding dengan harga bahan pokok sekarang. Kondisi ini bukan berarti masyarakat berpangku tangan menerima keadaan, tetapi masyarakat berprinsip lebih memilih bertahan dengan profesi petani karet karena mereka tau bahwa tidak mudah beralih profesi lain, selain tidak ada kepastian adanya jaminan berkecukupan untuk menghidupi keluarga, mereka akui tidak mudah untuk mengawali suatu pekerjaan, sedangkan kebutuhan hidup hari demi hari terus menagih.
Yusmaledi (43), warga yang sampai sekarang bertahan sebagai petani karet mengaku, susahnya bertahan sebagai petani karet dengan beban keluarga yang semakin hari semakin mencekik, harga karet jauh dibawah standar layaknya kebutuhan hidup, ayah dari 2 anak ini mau tidak mau tetap bertahan, berjuang agar kehidupan terus berlanjut, agar anak bisa sekolah ditengah himpitan ekonomi terutama mata pencaharian pokok karet dengan harga tidak normal seperti biasa, dapat di bayangkan satu kilogram karet hanya 11.000 perkg sedangkan satu kilogram beras 16.000 perkg, belum lagi harga sembako lainnya yang semakin meroket, sungguh harga yang tidak sebanding yang nota bene komoditi yang begitu banyak manfaatnya.
Ketika situasi ekonomi tersebut jauh dari harapan layak, Yus tetap berjuang demi ekonomi keluarga, pagi – pagi sebelum matahari terbit, Yus dan istri bergegas pergi ke kebun karet seperti biasa, mengendarai sepeda motor kira-kira satu jam perjalanan untuk sampai ke tujuan. Yus dengan langkah penuh semangat dan penuh Asa agar perut tetap terisi dan anak tetap bersekolah. Memang jarak dari rumah hanya 5 km, karena kondisi jalan terjal berbukitan dan sempit hanya bisa dilalui sepeda motor hingga membuat perjalanan menjadi lama, apalagi kalau musim hujan, jalan jadi licin akhirnya ditempuh dengan berjalan kaki, sehingga perjalanan dua kali lipat lebih lama menjadi 2 jam.
Dengan peralatan penyadap karet serta bekal makanan sekedar untuk menahan lapar dan air minum untuk hilangkan dahaga untuk bekal selama berada di kebun, kebetulan hari itu Yus, mengangkat hasil sadapan setelah 3 hari di kumpulkan didalam batok kelapa, kini tiba harinya diangkat satu persatu dari batok kelapa di jadikan satu dalam sebuah bak plastik untuk dibekukan dan hasilnya menjadi bongkahan karet yang beratnya lebih kurang 50 kilogram.
Setelah seharian menyadap dan proses pembekuan, latek akhirnya dibawa dengan menggunakan motor, sambil mengusap keringat bercucuran dikepala hingga ke sebagian badannya, Yus tiba dirumah kira pukul 3 sore, pergi gelap, pulang pun hampir gelap tapi ia tetap tersenyum dan berkata :
Inilah kegiatan setiap hari kami sebagai petani karet dan ini juga sebagai modal untuk menghidupi keluarga, sambil menunjuk kearah getah karet didepannya, hasil jerih payahnya selama 4 hari.
Perubahan Iklim Hasil Produksi Menurun
Faktor iklim sangat mempengaruhi komoditas karet baik tanaman maupun hasil produksi berkurang, biasanya musim kemarau terjadi dari bulan Juli-September, pengaruh faktor alam tersebut secara permanen terjadi tiap tahun, hal ini sudah biasa dihadapi petani karet. Petani karet kembali dihadapkan suatu dilema, aktivitas penyadapan karet tidak bisa berhenti karena desakan ekonomi disisi lain harga tak sesuai dengan harga kebutuhan pokok, hasil produksi berkurang akibat musim kemarau dan sebaliknya, biaya produksi meningkat, akibat dari harga kebutuhan sehari-hari mengalami kenaikan.
Olun, petani karet setempat juga mengatakan, daun pohon karet berguguran karena musim kemarau dan berdampak pada hasil sadapan tidak mengeluarkan latek lantaran musim kemarau.
” Memang musim kemarau daun pohon karet gugur seperti saat ini nyaris tidak ada latek yang keluar ketika di sadap, lateknya juga encer jika dibekukan beratnya sangat merosot, ditambah lagi harga murah” Katanya dengan muka terlihat sedih tapi kuat.
Jelang Hari Besar, Harga karet Turun
Sampai sekarang fenomena yang dihadapi petani karet dalam memasuki hari-hari besar seperti menjelang hari kemerdekaan, hari raya idul fitri/idul adha, tahun baru justru malah harga karet di tingkat petani turun.
Hal ini membuat Yus dan petani karet lain bertanya-tanya kenapa hari besar Nasional dan hari besar agama menyeret harga karet.
“Kenapa ya Setiap hari besar nasional maupun hari besar agama harga karet terkena dampak. Sebagai contoh, sebelum masuk bulan agustus harga masih di harga 13 ribu/kg, kini harga kembali merosot di harga 11 ribu/kg, harga sudah murah ditambah musim kemarau latek sedikit, setiap menghadapi hari besar harga turun, sudah murah turun lagi” katanya dengan ekspresi wajah pasrah
Lengkaplah sudah keadaan memprihatinkan yang dialami para petani karet, akan tetapi Yus yakin dengan perjuangan tanpa mengenal lelah demi mencukupi kebutuhan keluarga merupakan bagian dari usaha yang wajib dijalani tanpa mengenal putus asa apalagi menyerah.
Berharap ada upaya dari berbagai pihak terutama kepada pemangku kebijakan baik pusat maupun daerah agar mencarikan solusi terkait harga karet, bagi mereka petani karet, tak banyak mereka harapkan harga karet 1 kg setara dengan 1 kg beras sudah lumayan, ditengah himpitan ekonomi semua serba mahal dan harga sembako meroket zig zag.
Oleh : Julia Rose
Editor : Ibrahim
06 Agustus 2024
Redaksi timesmuba